saya seorang ibu rumah tangga yg baru saja resign dari pekerjaan lamanya.
sebelum saya menikah, saya merasa saya lah kertas putih yg penuh dengan coretan asing di atasnya. saya merasa saya lah daun yang tak perlu manyalahkan angin yang menjatuhkannya. dan saya lah debu yang tak sepatutnya dibuat seperti sampah padahal bisa untuk bersuci.
saya memiliki seorang kakak yang sampai dengan saat ini belum menikah. mungkin bagi saya pribadi awalnya tidak perduli dengan ini. saya sudah ada jodoh, kenapa harus menunggu kakak saya manikah..? namun lambat laun keegoisan itu berubah jadi rasa harap yg dalam, saya berharap ia mendapat jodoh terbaiknya dalam waktu dekat, aamiin.
Dulu sekali,,ketika saya single, saya berharap semua lancar pada waktunya. ketika saat itu tiba, sedikitpun tidak ada rasa haru di hati ini. apa yg terjadi…?
saya mencintai suami saya, dia lah tempat saya bernaung suka maupun duka. sering saya cemburu apalagi cemas ketika dia tidak berada di dekat saya. apapun saya tumpahkan ke pundaknya,,,openmind.bahkan hal2 yang tidak pernah saya ceritakan pada orang tua saya. dia lah tempat paling nyaman setelah ibu saya.
saya orang yang pemikir, bukan pekerja. artinya kebanyakan mikir dari pada kerja. apapun yang menjadi sepele bagi sebagian orang, saya selalu anggap itu rumit dan sulit.
ketika ayah saya mulai turut serta dalam perkembangan saya, saat itulah pikiran saya mulai menyempit. ketika banyaknya larangan dalam hidup yang akhirnya menyisakan luka di hati. saya tidak ingin menyalahkan sesiapa. namun, itulah saya yang merasa suatu ketidak puasan. ketika saya dituntut untuk berhenti dengan kegembiraan bersama teman2 kaliber dengan Ketuhanan yg saya yakini, saya tidak bisa bahkan cenderung melawan. sampai saya berfikir yang saya rasa itu bodoh. tapi nasi sudah menjadi bubur. ketika saya lulus, pasti keinginan pertama adalah bekerja. kesana kemari, sampai akhirnya saya menelan uang riba yang jelas2 bukan sesuatu yang baik. saya tidak bisa lepas saya hanya bisa menerima, tanpa harus mengeluh.
sedari kecil kami tidak pernah diajarkan untuk menyalahkan orang lain, kami hanya diajarkan untuk intropeksi diri dan tidak mencari2 alasan ketika ada masalah. labih jelasnya selalu kami yang disalahkan. kesalahan itu selalu tertuju pada kami. dan tidak pernah bangga dengan apa yg kami raih, kecil maupun besar. kami hanya mendengar kami itu bodoh, tidak patut dibanggakan. kami pun tak mau dibanggakan. tapi kami ingin rasa syukur itu ada di setiap lisan dan perilaku.
saya belajar sendiri? tidak. saya belajar dari alam dan lingkungannya. saya tau apa itu egois, saya tau apa itu semangat, dan saya tau apa itu sabar. dan sebagian kecilnya saya belajar dari suami saya. dialah satu2 nya orang yang bisa buat saya bisa move on saat ini.
saya sudah menyerah, menyerah untuk berusaha mencari pekerjaan. saya ingin bekerja, tapi sampai dengan saat ini tidak satupun yang menelpon untuk interview. padalah sudah puluhan CV saya sebar lewat email. apa kata suamiku? kerja itu tugas saya, kamu tidak bekerja pun tidak masalah.dan lain sebagainya untuk menyenangi hati saya. tapi di luar sana, terkadang pertanyaan dan perkataan orang begitu menyakitkan di hati. saya hanya ingin mendengar kata2 suami saja untuk menenangkan hati.
saya pun bosan selalu di rumah, sendirian, saya ingin punya keturunan, namun sampai dengan saat ini Tuhan belum berikan. apa kata suami? tidak apa, mungkin Tuhan ingin kita berduaan dulu. tapi di luar sana, semua pertanyaan bagai petir di siang bolong. terasa menusuk-nusuk ulu hati.
saya merasa hidup ini sulit, apapun yang diinginkan ketika terwujud, akan timbul keinginan lainnya yang harus terwujud. tapi yang jelas, Allah Maha Kaya.